Kesaksian Jim
Caviezel, Pemeran Yesus Kristus Dalam Film The
Passion of The Christ.
Kesaksian ini ditulis pada
tanggal 29 Juni 2009, pukul 11:58
Jim Caviezel adalah aktor Hollywood yang
memerankan Tuhan Yesus dalam film
The Passion of The Christ.
James Patric Caviezel, Jr lahir 28 September 1968 di Mount Vernon, Washington,
Amerika. Dia dari keluarga Katolik yang taat. Dia seorang aktor biasa dengan
peran-peran kecil dalam film yang tidak besar. Peran terbaik yang pernah
dimainkannya sebelum The Passion of The Christ adalah The Thin Red
Line. Jim hanyalah salah satu aktor dari begitu banyak aktor besar yang
main dalam film kolosal tersebut.
Dalam Thin Red Line, Jim berperan sebagai
prajurit yang berkorban demi menolong teman-temannya yang terluka dan terkepung
musuh Dia berlari memancing musuh ke arah yang lain walaupun ia tahu ia
akan mati. Akhirnya musuh pun mengepung dan membunuhnya. Kharisma
kebaikan, keramahan, dan rela berkorbannya ini menarik perhatian Mel Gibson,
yang sedang mencari aktor yang tepat untuk memerankan konsep film yang sudah
lama disimpannya. Mel menunggu orang yang tepat untuk memerankannya.
“Saya terkejut suatu hari dikirimkan naskah
sebagai peran utama dalam sebuah film besar. Belum pernah saya bermain dalam
film besar apalagi sebagai peran utama. Tapi yang membuat saya lebih terkejut
lagi adalah ketika tahu peran yang harus saya mainkan. Ayolah…, Dia ini Tuhan,
siapa yang bisa mengetahui apa yang ada dalam pikiran Tuhan dan memerankannya?
Mereka pasti bercanda.
Besok paginya saya mendapat sebuah telepon,
“Hallo ini, Mel”. Kata suara dari telpon tersebut. “Mel siapa?”, Tanya saya
bingung. Saya tidak menyangka kalau itu Mel Gibson, salah satu aktor dan
sutradara Hollywood yang terbesar. Mel
kemudian meminta kami bertemu, dan saya menyanggupinya.
Saat
kami bertemu, Mel kemudian menjelaskan panjang lebar tentang film yang akan
dibuatnya. Film tentang Tuhan Yesus yang berbeda dari film2 lain yang pernah
dibuat tentang Dia. Mel juga menyatakan bahwa akan sangat sulit dalam
memerankan film ini, salah satunya saya harus belajar bahasa dan dialek aramik,
bahasa yang digunakan pada masa itu.
Dan
Mel kemudian menatap tajam saya, dan mengatakan sebuah resiko terbesar yang
mungkin akan saya hadapi. Katanya bila saya memerankan film ini, mungkin akan
menjadi akhir dari karir saya sebagai aktor di Hollywood.
Sebagai
manusia biasa saya menjadi gentar dengan risiko tersebut. Memang biasanya aktor
pemeran Yesus di Hollywood, tidak akan dipakai lagi dalam film-film lain. Ditambah
kemungkinan film ini akan dibenci oleh sekelompok orang Yahudi yang berpengaruh
besar dalam bisnis pertunjukan di Hollywood . Sehingga habislah seluruh karir
saya dalam dunia perfilman.
Dalam
kesenyapan menanti keputusan saya apakah jadi bermain dalam film itu, saya
katakan padanya.
“Mel
apakah engkau memilihku karena inisial namaku juga sama dengan Jesus Christ
(Jim Caviezel), dan umurku sekarang 33 tahun, sama dengan umur Yesus Kristus
saat Ia disalibkan?”
Mel menggeleng setengah terperengah, terkejut, menurutnya ini menjadi agak
menakutkan. Dia tidak tahu
akan hal itu, ataupun terluput dari perhatiannya. Dia memilih saya murni karena
peran saya di Thin Red Line. Baiklah Mel, aku rasa itu bukan sebuah
kebetulan, ini tanda panggilanku, semua orang harus memikul salibnya. Bila ia tidak mau memikulnya maka ia akan
hancur tertindih salib itu. Aku tanggung resikonya, mari kita buat film ini!
Maka saya pun ikut terjun dalam proyek film tersebut. Dalam persiapan
karakter selama berbulan-bulan saya terus bertanya-tanya, dapatkah saya
melakukannya? Keraguan meliputi saya sepanjang waktu. Apa yang seorang Anak
Tuhan pikirkan, rasakan, dan lakukan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut
membingungkan saya, karena begitu banya referensi mengenai Dia dari sudut
pandang berbeda-beda.
Akhirnya hanya satu yang bisa saya lakukan, seperti yang Yesus banyak
lakukan, yaitu lebih banyak berdoa. Memohon tuntunanNya melakukan semua
ini. Karena siapalah saya ini memerankan Dia yang begitu besar. Masa lalu saya
bukan seorang yang dalam hubungan denganNya. Saya memang lahir dari keluarga
Katolik yang taat, kebiasaan-kebiasaan baik dalam keluarga memang terus
mengikuti dan menjadi dasar yang baik dalam diri saya.
Saya hanyalah seorang pemuda yang bermain bola basket dalam liga SMA dan
kampus, yang bermimpi menjadi seorang pemain NBA yang besar. Namun cedera engkel
menghentikan karir saya sebagai atlet bola basket. Saya sempat kecewa pada
Tuhan, karena cedera itu, seperti hancur seluruh hidup saya.
Saya kemudian mencoba peruntungan dalam casting-casting, sebuah
peran sangat kecil membawa saya pada sebuah harapan bahwa seni peran mungkin
menjadi jalan hidup saya. Kemudian saya mendalami seni peran dengan masuk dalam
akademi seni peran, sambil sehari-hari saya terus mengejar casting.
Dan kini saya telah berada dipuncak peran saya. Benar Tuhan, Engkau yang
telah merencanakan semuanya, dan membawaku sampai di sini. Engkau yang
mengalihkanku dari karir di bola basket, menuntunku menjadi aktor, dan
membuatku sampai pada titik ini. Karena Engkau yang telah memilihku, maka
apapun yang akan terjadi, terjadilah sesuai kehendakMu.
Saya tidak membayangkan tantangan film ini jauh lebih sulit dari pada
bayangan saya.
Di make-up selama 8 jam setiap hari tanpa boleh bergerak dan tetap
berdiri, saya adalah orang satu-satunya di lokasi syuting yang hampir tidak
pernah duduk. Sungguh tersiksa menyaksikan kru yang lain duduk-duduk santai
sambil minum kopi. Kostum kasar yang sangat tidak nyaman, menyebabkan
gatal-gatal sepanjang hari syuting membuat saya sangat tertekan. Salib yang
digunakan, diusahakan seasli mungkin seperti yang dipikul oleh Yesus saat itu.
Saat mereka meletakkan salib itu dipundak saya, saya kaget dan berteriak
kesakitan, mereka mengira itu akting yang sangat baik, padahal saya
sungguh-sungguh terkejut. Salib itu terlalu berat, tidak mungkin orang biasa
memikulnya, namun saya mencobanya dengan sekuat tenaga.
Yang terjadi kemudian setelah dicoba berjalan, bahu saya copot, dan tubuh
saya tertimpa salib yang sangat berat itu. Dan saya pun melolong kesakitan,
minta pertolongan. Para kru mengira itu akting yang luar biasa, mereka tidak
tahu kalau saya dalam kecelakaan sebenarnya. Saat saya memulai memaki,
menyumpah dan hampir pingsan karena tidak tahan dengan sakitnya, maka mereka
pun terkejut, sadar apa yang sesungguhnya terjadi dan segera memberikan saya
perawatan medis.
Sungguh,
saya merasa seperti setan karena memaki dan menyumpah seperti itu, namun saya
hanya manusia biasa yang tidak bisa menahannya. Saat dalam pemulihan dan
penyembuhan, Mel datang pada saya. Ia bertanya apakah saya ingin melanjutkan
film ini, ia berkata ia sangat mengerti kalau saya menolak untuk melanjutkan
film itu. Saya bekata pada Mel, saya tidak tahu kalau salib yang dipikul Tuhan
Yesus seberat dan semenyakitkan seperti itu. Tapi kalau Tuhan Yesus mau memikul
salib itu bagi saya, maka saya akan sangat malu kalau tidak memikulnya walau
sebagian kecil saja. Mari kita teruskan film ini. Maka mereka mengganti salib
itu dengan ukuran yang lebih kecil dan dengan bahan yang lebih ringan, agar
bahu saya tidak terlepas lagi, dan mengulang seluruh adegan pemikulan salib
itu. Jadi yang penonton lihat di dalam film itu merupakan salib yang lebih
kecil dari aslinya.
Bagian syuting selanjutnya adalah bagian yang mungkin paling mengerikan,
baik bagi penonton dan juga bagi saya, yaitu syuting penyambukan Yesus. Saya gemetar
menghadapi adegan itu, karena cambuk yang digunakan itu sungguhan. Sementara
punggung saya hanya dilindungi papan setebal 3 cm. Suatu waktu para pemeran
prajurit Roma itu mencambuk dan mengenai bagian sisi tubuh saya yang tidak
terlindungi papan. Saya tersengat, berteriak kesakitan, bergulingan di tanah
sambil memaki orang yang mencambuk saya. Semua kru kaget dan segera
mengerubungi saya untuk memberi pertolongan.
Tapi bagian paling sulit, bahkan hampir gagal dibuat yaitu pada bagian
penyaliban. Lokasi syuting di Italia sangat dingin, sedingin musim salju, para
kru dan figuran harus manggunakan mantel yang sangat tebal untuk menahan
dingin. Sementara saya harus telanjang dan tergantung di atas kayu salib,
diatas bukit yang tertinggi di situ. Angin dari bukit itu bertiup seperti
ribuan pisau menghujam tubuh saya. Saya terkena hypothermia (penyakit
kedinginan yang biasa mematikan), seluruh tubuh saya lumpuh tak bisa bergerak,
mulut saya gemetar bergoncang tak terkendalikan. Mereka harus menghentikan syuting,
karena nyawa saya jadi taruhannya.
Semua tekanan, tantangan, kecelakaan dan penyakit membawa saya sungguh
depresi. Adegan-adegan tersebut telah membawa saya kepada batas kemanusiaan
saya. Dari adegan ke adegan lain semua kru hanya menonton dan menunggu saya
sampai pada batas kemanusiaan saya, saat saya tidak mampu lagi baru mereka
menghentikan adegan itu. Ini semua membawa saya pada batas-batas fisik dan jiwa
saya sebagai manusia. Saya sungguh hampir gila dan tidak tahan dengan semua
itu, sehingga seringkali saya harus lari jauh dari tempat syuting untuk berdoa.
Hanya untuk berdoa, berseru pada Tuhan kalau saya tidak mampu lagi, memohon Dia
agar memberi kekuatan bagi saya untuk melanjutkan semuanya ini. Saya tidak
bisa, masih tidak bisa membayangkan bagaimana Yesus sendiri melalui semua itu,
bagaimana menderitanya Dia. Dia bukan sekedar mati, tetapi mengalami
penderitaan luar biasa yang panjang dan sangat menyakitkan, baik fisik maupun
jiwaNya.
Dan peristiwa terakhir yang merupakan mujizat dalam pembuatan film itu
adalah saat saya ada di atas kayu salib. Saat itu tempat syuting mendung gelap karena badai akan datang, kilat
sambung menyambung di atas kami. Tapi Mel tidak menghentikan pengambilan
gambar, karena memang cuaca saat itu sedang ideal sama seperti yang seharusnya
terjadi seperti yang diceritakan. Saya ketakutan tergantung di atas kayu salib
itu, di samping kami ada dibukit yang tinggi, saya adalah objek yang paling
tinggi, untuk dapat dihantam oleh halilintar. Baru saja saya berpikir ingin
segera turun karena takut pada petir, sebuah sakit yang luar biasa menghantam
saya beserta cahaya silau dan suara menggelegar sangat kencang (setan tidak
senang dengan adanya pembuatan film seperti ini). Dan sayapun tidak sadarkan
diri.
Yang saya tahu kemudian banyak orang yang memanggil-manggil meneriakkan
nama saya, Saat saya membuka mata semua kru telah berkumpul di sekeliling saya,
sambil berteriak-teriak “dia sadar! dia sadar!” (dalam kondisi seperti ini
mustahil bagi manusia untuk bisa selamat dari hamtaman petir yang berkekuatan
berjuta-juta volt kekuatan listrik, tapi perlindungan Tuhan terjadi di sini).
“Apa yang telah terjadi?” Tanya saya. Mereka bercerita bahwa sebuah
halilintar telah menghantam saya di atas salib itu, sehingga mereka segera
menurunkan saya dari situ. Tubuh saya menghitam karena hangus, dan rambut saya
berasap, berubah menjadi model Don King. Sungguh sebuah mujizat kalau saya
selamat dari peristiwa itu.
Melihat dan merenungkan semua itu seringkali saya bertanya, “Tuhan, apakah
Engkau menginginkan film ini dibuat? Mengapa semua kesulitan ini terjadi,
apakah Engkau menginginkan film ini untuk dihentikan”? Namun saya terus berjalan, kita harus melakukan
apa yang harus kita lakukan. Selama itu benar, kita harus terus melangkah.
Semuanya itu adalah ujian terhadap iman kita, agar kita tetap dekat padaNya,
supaya iman kita tetap kuat dalam ujian.
Orang-orang bertanya bagaimana perasaan saya saat di tempat syuting itu
memerankan Yesus. Oh… itu
sangat luar biasa… mengagumkan… tidak dapat saya ungkapkan dengan kata-kata.
Selama syuting film itu ada sebuah hadirat Tuhan yang kuat melingkupi kami
semua, seakan-akan Tuhan sendiri berada di situ, menjadi sutradara atau
merasuki saya memerankan diriNya sendiri.
Itu adalah pengalaman yang tak terkatakan. Semua yang ikut terlibat dalam
film itu mengalami lawatan Tuhan dan perubahan dalam hidupnya, tidak ada yang
terkecuali. Pemeran salah satu prajurit Roma yang mencambuki saya itu adalah
seorang muslim, setelah adegan tersebut, ia menangis dan menerima Yesus sebagai
Tuhannya. Adegan itu begitu menyentuhnya. Itu sungguh luar biasa. Padahal
awalnya mereka datang hanya karena untuk panggilan profesi dan pekerjaan saja,
demi uang. Namun pengalaman dalam film itu mengubahkan kami semua, pengalaman
yang tidak akan terlupakan.
Dan Tuhan sungguh baik, walaupun memang film itu menjadi kontroversi. Tapi
ternyata ramalan bahwa karir saya berhenti tidak terbukti. Berkat Tuhan tetap
mengalir dalam pekerjaan saya sebagai aktor. Walaupun saya harus memilah-milah
dan membatasi tawaran peran sejak saya memerankan film ini.
Saya harap mereka yang menonton The Passion of Jesus Christ, tidak
melihat saya sebagai aktornya. Saya hanyalah manusia biasa yang bekerja sebagai
aktor, jangan kemudian melihat saya dalam sebuah film lain kemudian
mengaitkannya dengan peran saya dalam The Passion dan menjadi kecewa.
Tetap pandang hanya pada Yesus saja, dan jangan lihat yang lain. Sejak
banyak bergumul berdoa dalam film itu, berdoa menjadi kebiasaan yang tak
terpisahkan dalam hidup saya. Film itu telah menyentuh dan mengubah hidup saya,
saya berharap juga hal yang sama terjadi pada hidup anda. Amin.
Yesus Kristus Mati Dengan Cara Disalib
Penyaliban merupakan sebuah cara penghukuman kuno yang kejam dan
menyakitkan. Orang yang dijatuhi hukuman salib mengalami kengerian menjelang
kematiannya karena akan mengalami penyesahan dulu sebelum disalib. Penyesahan dilakukan untuk membuat orang
tersebut mati secara pelan-pelan. Pada jaman Romawi penyesahan dilakukan dengan
deraan cambuk. Cambuk Romawi dikenal dengan nama Flagrum.
Flagrum merupakan salah satu alat penyiksaan paling menyakitkan yang pernah
dikenal manusia. Flagrum berupa cambuk pendek yang terbuat dari
kulit binatang atau pilinan tali. Pada bagian ujung tali diikatkan sejumlah
paku, pecahan kaca, logam kecil atau tulang binatang yang bergerigi,
agar bisa menembus dalam daging dan mencabik punggung, pantat dan paha
korban. Akibatnya orang yang dicambuk akan mengalami luka yang sangat
parah. Bukan hanya kulit, dagingnya juga tercabik-cabik. Menurut Hukum
Yahudi, tradisi penyambukan sebanyak 40 kurang 1 (39 kali). Setiap kali
pencambukan membuat 25 luka pada kulit. Jadi kalau 39 kali cambukan
maka akan ada 975 luka pada kulit. Beberapa pakar mengatakan bahwa luka-luka
cabikan tersebut sangat dalam sehingga tulang iga orang yang dicambuk dapat
terlihat. Bisa dipastikan sehabis penyesahan orang tersebut akan kehilangan
banyak darah.
Kondisi Yesus Kristus Menjelang KematianNya Dari Sisi Medis
- Penderitaan Yesus Kristus dimulai
saat Perjamuan Terakhir. Dari sisi manusiaNya Yesus Kristus mengalami
stres berat karena Dia tahu bakal mati dengan cara disalib yang pasti akan
mengalami penyiksaan brutal dengan deraan cambuk.
- Ketika berdoa di Taman Getsemani
Yesus Kristus mengalami tekanan psikis yang sangat keras serta
perasaan sangat galau sehingga ketika berdoa dikatakan ”peluhNya menjadi
seperti titik-titik darah yang bertetesan di tanah”. Dalam dunia
Kedokteran kondisi ini dikenal sebagai Hematidrosis. Kondisi ini
dapat terjadi karena stres yang sangat berat sehingga pembuluh kapiler
yang mengalirkan darah ke kelenjar keringat tiba-tiba pecah dan terbuka,
lalu membocorkan darah ke saluran kelenjar keringat yang
mengakibatkan keringat keluar becampur dengan darah.
- Ketika
berada di rumah Imam Besar Kayafas yang dipakai sidang Mahkamah Agama
untuk mengadili Yesus, Dia mengalami mengalami penganiayaan yaitu
pemukulan pada kepala, di lok-olok dan diludahi. Dari rumah Imam Besar,
Yesus dibawa dan dihadapkan kepada Pontius Pilatus. Lalu dibawa lagi ke
tempat Herodes, tapi akhirnya dikembalikan kepada Pilatus. Di tempat
Pilatus inilah Yesus mengalami penyesahan dengan cara dicambuk. Menurut
tradisi Romawi hukuman cambuk dilakukan dengan cambuk bercabang banyak
yang ujungnya diberi pengait (Flagrum). Yesus dicambuki pada
bagian punggung, pantat dan kaki yang dilakukan oleh para prajurit
Rowawi terlatih yang dinamakan Lictor. Kemungkinan Yesus dicambuk
dengan Flagrum lebih dari 39 kali karena yang mencabuk Yesus adalah
orang Romawi (bukan orang Yahudi). Jadi mereka bisa dengan sesukanya
mencambuki Yesus. Dipastikan Yesus Kristus mengalami luka-luka berat
pada sekujur tubuhnya sehingga membuatNya kehilangan banyak darah.
- Setelah
penyesahan, para prajurit Romawi mengenakan mahkota duri di kepala
Yesus. Duri tersebut dibuat dari tanaman berduri yang berasal dari
Palestina, namanya Paliurus aculeatus. Duri ini panjangnya
kurang lebih 2,5 Cm. Duri tersebut kalau sudah kering sangat tajam
dan kaku seperti paku. Ketika mahkota duri itu ditancapkan pada
kepala Yesus, otomatis durinya mengenai kulit kepala dan
meniumbulkan pendaharahan hebat. Duri maut itu sekarang dikenal dengan nama Spina Christy.
|
Orang terkena Spina Christy
|
- Yesus
kehilangan banyak darah akibat dicambuki dan diberi mahkota duri. Hal ini
mengakibatkan dehidrasi dan pasokan oksigen berkurang. Yesus Kristus
kemungkinan besar mengalami kerusakan organ-organ tubuh seperti ginjal,
paru-paru, hati, jantung, gegar otak, kandung kemih.
- Setelah
itu Yesus dibawa berjalan dan dipaksa memikul salib ke Bukit Golgota yang
jaraknya 1 kilometer dari rumah Pilatus. Saat itu Yesus dalam
kondisi shock dan sudah sangat lemah. Salib yang dipikul Yesus
beratnya kira-kira 90 kg. Salib yang terbuat dari kayu kasar itu
memperparah luka-luka yang ada di tubuh Yesus akibat pencambukan.
- Sampai di
puncak Bukit Golgota, ketika salib akan ditegakkan, salib itu terjatuh. Dipastikan dada dan muka Yesus
membentur tanah dengan sangat keras.
- Meskipun Yesus kehilangan
banyak darah dan semua organ tubuhnya tidak berfungsi,
tetapi Yesus tidak mati.
- Setelah Yesus berkata, ” ...
Sudah selesai ... dan Dia menundukkan kepalaNya serta berkata: Ya
Bapa, ke dalam tanganMu Kuserahkan nyawaKu ” barulah Yesus
mati.
- Ketika mengetahui Yesus telah
mati, barulah algojo Romawi menusuk lambung Yesus, dan keluarlah air dan
darah.
- Yesus Kristus mati bukan di tangan
algojo Romawi tapi Yesus Kristus mati karena Dia menyerahkan nyawanya
kepada Allah Bapa.
- Manusia
tidak bisa membunuh Yesus Kristus karena Yesus adalah Tuhan, yang memberi
nyawa manusia (Yesus Kristus dapat membangkitkan orang yang sudah mati)
Untuk Direnungkan
- Yesus
Kristus mengalami semua penderitaan yang dialami manusia, baik psikis
maupun fisik. Yesus Kristus mengalami semua penyakit yang diderita manusia
di Bumi.
- Yesus
Kristus yang tidak berdosa rela mati dengan cara yang tragis untuk menebus
dosa manusia berdosa yang percaya kepadaNya.
SELAMAT PASKAH. TUHAN YESUS MEMBERKATI.